Minggu, 27 Desember 2009

KEMISKINAN DAN AROMA LUMPUR LAPINDO

Tidak mudah menorehkan nilai paling tepat dalam lajur Bidang Kesra untuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu. Selain menyangkut pasokan data yang teramat bejibun, juga dihadang kekhawatiran soal obyektivitas. Sehingga, harap dimaklum, bila pada akhirnya saya memilih fakta “terpopuler” di mata pemirsa sebagai alasan penilaian.

09/09/2009: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie dijadwalkan bertemu Panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam kunjungan kerjanya ke Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Menurutnya, pertemuan itu bukan agenda utama karena kunjungan kerjanya ke Enarotali adalah untuk meresmikan dimulainya pembangunan permukiman terpadu tahap I di kampung Madi, Enarotali.

Dengan pendekatan itu, Ical berharap, mereka mau turun kembali ke kampung halamannya dan membaur dengan masyarakat lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu bhakti yang sangat bernilai bagi Ibu Pertiwa adalah menjaga keutuhan “keluarga besar” ini agar terus menyatu dalam bingkai Negar Kesatan Republik Indonesia. Porsi ini pernah dilakukan oleh mantan Menko Kesra M. Jusuf Kalla untuk “mendinginkan” konflik di Poso, sulawesi Tengah. Namun, hal itu dilakukan dengan perencanaan dan konsep yang matang. Sehingga, Pertemuan Malino tidak sekadar usaha basa-basi untuk mendongkrak popularitas. Hasil nyata yang ditunggu dari pekerjaan itu dan tidak sebatas wacana di media massa.

Dengan perencanaan yang tidak matang dan hasil yang jaug dari harapan, maka ide brilian itu harus bergulir sia-sia dan tidak menjadi credit point bagi Bidang Kesra dalam Kabinet SBY.

07/09/2009: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie membantah pemberitaan kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. “Jadi tidak ada korban karena kelaparan. Tapi kalau ada yang meninggal, setiap hari pasti ada. Di Jakarta, setiap hari juga ada orang meninggal,” ujar Ical, demikian Aburizal kerap disapa.

Sementara Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem juga mengaku, belum menerima laporan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Yahukimo, terkait adanya bencana kelaparan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, sejumlah media massa melansir laporan dari Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat Indonesia (Yakpesmi) yang menyatakan sejak Januari hingga Agustus 2009, sedikitnya 113 warga Yahukimo tewas akibat kekurangan asupan gizi. Kebanyakan korban berasal dari tujuh distrik, yaitu Distrik Langda, Bomela, Seradala, Suntamon, Pronggoli, dan Heryakpini.

Menurut Koordinator Yakpesmi, Izak Kipka, penyebab kelaparan yang menimpa Kabupaten Yahukimo ini karena tingginya curah hujan yang turun sejak empat bulan terakhir. Akibatnya sejumlah jenis tanaman yang dijadikan makanan pokok masyarakat mengalami gagal panen.

Bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo ini bukanlah yang pertama. Pada 2005 silam, bencana serupa pernah menimpa kabupaten ini dan 55 orang tewas. Ratusan lainnya pun kritis akibat kekurangan asupan gizi.

Yakuhimo adalah satu daerah yang memiliki kasus kemiskinan paling menonjol di Tanah Air. Sejak krisis moneter melanda negeri ini pada 1997, angka kemiskinan — yang juga diikuti kelaparan — tidak pernah memberikan perkembangan angka yang menggembirakan. Parahnya, angka pastinya pun selalu berubah-ubah. Sumber-sumber data dari lembaga yang berkompeten untuk urusan ini seakan tidak mampu menghadirkan angka paling benar. Baik Biro Pusat Statistik atau Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan kader-kader di seluruh pelosok daerah.

Kalau soal data pun semrawut, bagaimana pula mencari solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan? Buah yang dipetik dari kemiskinan itu bukan hanya kelaparan. Tapi, juga kesempatan memperoleh pendidikan yang layak, kesehatan yang terjamin, dan masalah sosial lain. Bahkan, ancaman generasi yang hilang (the lost generation) juga tidak bisa diabaikan.

Bayangkan, generasi macam apa yang bisa dihasilkan dari daerah miskin, dengan anak-anak yang kekurangan gizi, tidak bersekolah, tidak pernah memeriksakan kesehatan, dan tidak mendapatkan haknya sebagai anak-anak! Dan, itu bukan hanya milik Yakuhimo. Daerah-daerah miskin di setiap pulau, dengan problem yang seragam, juga tidak sedikit. Semoga lembaga-lembaga pemasok data bisa bekerja kembali dan menghadirkan angka pastinya.

Maka, nilai apa yang layak diberikan untuk “cacad-cacad” nyata yang bisa ditangkap mata telanjang ini?

06/09/2008: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie mengatakan bantuan untuk korban gempa di Jawa Barat, belum bisa menjangkau seluruh titik karena ada kendala dalam pendistribusian bantuan. “Pemerintah daerah harus segera mengatasi masalah ini,” kata Ical.

Bencana bukan cerita baru untuk negeri ini. Terlebih bagi pemerintahan SBY. Bencana bertubi-tubi datang dan membuat Departemen Sosial harus bekerja keras menuntaskannya. Seiring dengan itu, kendala selalu saja datang dan menghambat pekerjaan besar itu. Padahal, korban bencana bukan hanya menunggu, tapi tengah mengitung durasi ketahanannnya.

Pada bagian ini saya harus mengatakan, Departemen Sosial dengan pengalaman dan record kinerjanya yang luar biasa, kok masih saja dililit berbagai kesulitan dalam penanganan masalah. Bencana di negeri ini bukan sekali atau dua kali terjadi. Tapi, departemen ini selalu menjadi “pendukung” di balik kinerja relawan asing atau relawan dalam negeri. Perhatikan saja sejak peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan bencana-bencana berar lain.

Idealnya, Departemen Sosial harus berada di garda terdepan. Sedangkan tenaga-tenaga lain, baik dari militer, relawan, atau warga lain, tetap di barisan belakang. Selain itu, strategi jitu juga harusnya sudah ada dan tidak yerkukung birokrasi.

Pendistribusian yang terhambat hanyalah salah satu contoh kasus penanganan korban gempa yang masih gagap. Di luar itu, mata telanjang kita bisa sama-sama saksikan, dan tidak memungkinkan untuk menjadi nilai bagus untuk bidang ini.

27/07/2008: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie di Blitar, Jawa Timur, Senin (27/7), mengatakan, pemerintah berencana meninjau ulang pemberian ganti rugi bagi para korban luapan lumpur PT Lapindo Brantas. Menurut Aburizal, pemerintah akan memberikan kebijakan khusus bagi desa-desa yang baru terkena dampak lumpur. Besarannya sama dengan warga korban lumpur yang sudah masuk dalam peta berdampak

Seperti diberitakan sebelumnya, akibat munculnya semburan gas yang disertai lumpur, kawasan Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Jatim, sudah tidak layak huni. Sebab, puluhan rumah warga retak-retak. Bahkan, di rumah warga muncul semburan baru disertai bau gas yang menyengat. Warga berharap mereka segera mendapatkan ganti rugi meski kawasan ini tak masuk dalam peta terdampak

Penanganan korban lumpur Lapindo adalah kasus paling memalukan dalam kabinet SBY jilid satu. Rumah hancur, lingkungan ikut hancur, hidup jadi tidak teratur, ganti rugi belum membaur, masa depan makin tak terukur. Bahkan kekuatan pemerintah pun tidak sanggup melunakkan hati pemilik perusahaan, untuk selekasnya menunaikan kewajiban.

Maka, di tengah gemerlap pesta demokrasi dan berbagai kegiatan politik dalam negeri yang menghamburkan banyak uang, warga korban lumpur Lapindo harus jadi penonton paling merana. Jerita mereka, jelas, menjadi cacad bagi rapor Bidang Kesra.

22/05/2008: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa warga agar mau menerima bantuan langsung tunai (BLT). “Ini uang negara yang diberikan kepada rakyat. Apabila rakyat menerima atau tidak, itu hak mereka,” kata Menko Kesra yang biasa disapa Ical.

BLT diberikan kepada warga miskin sebagai kompensai kenaikan harga BBM yang tidak bisa dikompromikan lagi. Pada era sebelumnya, program ini dijalankan dengan label Jaring Pengaman Sosial (JPS). Meski “sukses” secara pemberian, dengan bocor di sana-sini, namun masalah kemiskinan belum teratasi.

Namanya saja kompensasi. Barangkali maksudnya, kompensasi untuk tidak sakit hati atas naiknya harga BBM, melambungnya harga-harga sembako, dan nilai BLT tidak bisa mengejar daya beli. Akhirnya, ya tidak bermakna.

Lucunya, JPS menjadi inspirasi bagi pengguliran BLT. Termasuk, dengan aroma “carut-marut”nya. Parahnya lagi, kali program digulirkan berdasarkan data kemiskinan yang masih diragukan validitasnya. Tidak heran masalah ini pun menjadi topik segar selama masa kampanye lalu. Meski warga tidak goyah akan “provokasi” selama kampanye, toh fakta di lapangan membuktikan bahwa hal itu bukan solusi terbaik untuk menjawab angka kemiskinan.

Entah skenario apa di balik pengguliran program BLT? Yang pasti, program ini tidak layak mendapat apresiasi. Apalagi poin!

02/11/2006: Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mengusulkan pemerintah membeli pesawat bom air BE-200 dari Rusia. Pesawat seharga Rp 400 miliar itu dapat diandalkan untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan yang setiap tahun mengancam Indonesia.

Kebakaran hutan, ancaman pandemi flu burung dan flu babi, penyelenggaran pendidikan murah, pelaksanaan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, penyelenggaraan ibadah haji, pengembangan pariwisata, pemberdayaan perempuan, dan banyak lagi program dari sejumlah departemen dan kantor kementrian, saling meramaikan wacana. Di tingkat wacana dan perencanaan sangat bagus. Tapi, begitu hingga di tingkat pelaksanaan, masih saja tersendat-sendat.

Kebakaran hutan masih saja terjadi. Bahkan menjadi rutinitas. Tapi, penangananannya tidak pernah berhasil. Hari ini kebakaran, besok dipadamkan. Lusa kebakaran lagi, lalu dipadamkan lagi. Dan seterusnya. Ada apa di balik sulitnya memecahkan masalah ini?

Dana Biaya Operasi Sekolah (BOS) menarik di layar televisi dalam bentuk public service advertisment (PSA) tapi tidak oke di tingkat mayarakat. Sekolah gratis dan bermutu masih mimpi. Kalau ingin mendapat pendidikan bermutu, maka sediakan juga dana tambahan dari orangtua siswa. Lho?

Jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, ya sebatas Puskesmas atau rumah sakit umum di kelas ecek-ecek. Bila setuju untuk menikmati layanan itu, maka bersiap-siaplah menyiapkan surat miskin dan sabar mengantre saat mendapat perawatan. Semoga kaum miskin tidak pernah sakit parah.

Persoalan pernyelenggaraan ibadah haji selalu saja berputar di antara kuota, pelayanan di dalam negeri, maktab, catering, dan berbagai kesulitan, yang haris dimaklumi. Karena sejak di Tanah Air, hal itu harus diyakini sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. Sehingga pembenahan pun selalu berjalan di tempat dan tidak maju-maju. Beruntung, para tetamu Allah itu sudah beristiqomah untuk bersabar, ikhlas, dan tawakal menerima apa pun.

Dari masing-masing kategori, entah nilai apa yang pantas diberikan? A, B, C, D, atau E? Barangkali Anda memiliki catatan-catatan positif yang memungkinkan pemerintah SBY layak mendapat nilai tinggi untuk kategori-kategori tertentu. Itu hak Anda.

Yang pasti, saya berusaha memaparkan data lain yang didapat dari lapangan, dengan kaca mata jurnalis, untuk menjadi bahan pertimbangan. Nilai menjadi tidak penting, mungkin. Karena, itikad baik untuk memperbaiki segala kekurangan jauh lebih mulia dibandingkan apa pun. Karena, saya menyerahkan sepenuhnya penilaian terhadap Kabinet Indonesia Bersatu julid satu Bidang Kesra kepada Anda.

SUMBER: LIPUTAN 6

RINDU POLISI JUJUR

Di awal 1956, seorang pria tinggi kurus bersama istrinya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatra Utara. Perintah dari atasan membuatnya harus meninggalkan Tanah Jawa dan menjejakkan kaki di kota yang dia tak kenal sama sekali. Ada sedikit kegamangan ketika dia harus mengemban jabatan baru sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumut).

Betapa tidak, sebelum berangkat, atasan dan sejumlah koleganya sudah mewanti-wanti. Disebutkan, Kota Medan adalah daerah rawan dan keras. Penyelundupan dan perjudian seolah tak tersentuh. Banyak sudah perwira polisi yang bertekuk lutut karena berutang budi pada pengusaha kakap yang umumnya dikuasai oleh etnis Tionghoa.

Dan, pria kurus ini tak perlu menunggu lama untuk membuktikannya. Saat akan memasuki rumah dinas dengan membawa perlengkapan seadanya, perabotan mewah ternyata sudah memenuhi rumah itu. Mulai dari kulkas, tape recorder, piano dan kursi tamu. Anak buahnya yang diminta untuk menyingkirkan semua barang itu mengaku tak berani. Alhasil, perwira polisi ini mengeluarkan sendiri semua perabot tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan.

Kabar ini langsung menggemparkan Kota Medan. Dari kondisi sosial ketika itu, adalah sesuatu yang aneh ketika seorang perwira polisi dari Jakarta berani menolak pemberian cukong Medan. Sejak itu pula, sebuah nama ramai dibicarakan dan terpatri di benak publik: Hoegeng Iman Santoso.

Hoegeng ternyata memang tidak mempan digertak dan disuap. Dalam menjalankan tugas, tak terbilang banyaknya dia membongkar kasus penyelundupan dan perjudian yang dilakukan pengusaha “Cina Medan”. Tak jarang pula dia harus menangkap dan menahan perwira Polda Sumut yang ikut terlibat.

Di akhir 1959, Hoegeng ditarik ke Polda Metro Jaya dengan jabatan yang sama. Tak sempat merasakan berdinas di kantor baru, pria kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921 ini dipanggil Menko Hankam/KSAD Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. Hoegeng ditawari jabatan sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Pamornya yang mencorong saat bertugas di Medan membuat Hoegeng diusulkan banyak pihak untuk menjabat di tempat baru ini.

Selama bertugas di Jawatan Imigrasi, Hoegeng tetap mengenakan seragam polisi, karena dia hanya mengambil gaji dari kepolisian, sedangkan gaji dan fasilitas dari Imigrasi tak disentuhnya. Dia juga menolak mobil baru pemberian Imigrasi serta upaya merenovasi rumahnya. Hoegeng beralasan, apa yang didapatkan dari kepolisian sudah cukup.

Pertengahan 1965, Hoegeng dilantik Presiden Soekarno menjadi Menteri Iuran Negara (kini Dirjen Pajak). Ada pengalaman menarik saat dia menjabat. Ketika itu seorang calon pegawai baru di lingkup Bea Cukai membawa selembar katabelece dari Wakil Perdana Menteri II Dr. Johannes Leimena. Tujuannya tak lain agar diberi kemudahan. Hoegeng lantas berkirim surat kepada Leimena menyatakan maaf karena tak bisa membantu. Esok harinya Leimena mengontak Hoegeng sambil meminta maaf.

Usai peristiwa G 30-S/PKI, Hoegeng diangkat menjadi Menteri/Sekretaris Kabinet. Namun, pada Juni 1966, Hoegeng diminta menjadi Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Deputi Kapolri). Meski itu berarti turun pangkat dari menteri menjadi Wakil Kapolri, Hoegeng menerima karena dia merasa kembali ke habitatnya, kepolisian. Pada 1 Mei 1968 pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi komisaris jenderal polisi dan dua pekan kemudian dilantik sebagai Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri).

Selama menjadi Kapolri, Hoegeng berusaha selalu datang paling awal dibandingkan staf lainnya. Setiap pagi saat menuju kantor, dia selalu mencari rute yang berbeda dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi daerah yang dilaluinya. Tak jarang Hoegeng turun dari mobil sekadar untuk melancarkan arus lalu lintas yang macet. Sesekali waktu dia juga berangkat ke kantor dengan bersepeda. Hoegeng pula yang kemudian mengeluarkan peraturan tentang kewajiban menggunakan helm.

Tak hanya itu, setiap ada perjalanan dinas ke luar negeri, Hoegeng selalu pergi sendiri tanpa istri atau anak. Menurutnya, uang negara harusnya untuk membiayai perjalanan pejabat, bukan keluarga pejabat, karena itu hanya akan menguras keuangan negara.

Semua itu dilakukannya sebagai bentuk kecintaan pada profesi serta pemahaman bahwa setinggi apa pun pangkat atau jabatan, polisi tetaplah seorang pelayan dan pengayom masyarakat, bukan pejabat yang tiap hari sibuk rapat di kantor dan menjauh dari masyarakat. Hal itu pula yang membuat Hoegeng menolak pembangunan gardu jaga di rumahnya serta menolak diberi pengawalan secara berlebihan.

Sayang, karier Hoegeng harus berakhir karena kejujuran dan ketegasannya. Pada Oktober 1971 Hoegeng diberhentikan dengan alasan peremajaan. Padahal, usia Kapolri yang menggantikannya ternyata lebih tua dari dirinya. Majalah TEMPO ketika itu menuliskan bahwa Hoegeng dicopot karena membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Tjahjadi yang dibekingi pejabat tinggi negara.

Selain itu, Hoegeng dianggap terlalu populer dan terlalu dekat dengan pers serta masyarakat, sehingga menimbulkan ketidaksukaan petinggi negara. Tawaran menjadi duta besar untuk Belgia kemudian ditampiknya. “Saya tak biasa berdiplomasi dan minum koktail,” ujarnya ketika itu.

Begitu mendapat kabar telah diberhentikan, Hoegeng kemudian mengabarkan pada ibunya. Sang ibu pun berpesan agar si jenderal menyelesaikan tugas dengan kejujuran. “Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar sang ibu Roelani. Hoegeng juga ingat pesan almarhum ayahnya yang seorang jaksa, untuk tidak menggadaikan harga diri dan kehormatan demi kesenangan duniawi.

Usai serah terima jabatan, Hoegeng pun langsung mengembalikan seluruh inventaris milik Polri. Tak pernah terbayangkan, seorang Kapolri pensiun tanpa memiliki rumah dan kendaraan. Yang tertinggal di depan rumah dinas hanya sebuah sepeda butut. Untuk urusan menuju tempat yang agak jauh, Hoegeng pun membiasakan naik bajaj. Bahkan, saking sederhananya rumah dinas di Jalan M. Yamin, Jakarta Pusat itu, seorang pencuri pernah nekat masuk dan mengambil radio transistor milik Hoegeng.

Hoegeng mengaku masa-masa pensiun dini tersebut merupakan saat yang sulit buat dia dan keluarga dari sisi ekonomi. Kendati demikian, dia tetap kukuh menolak semua pemberian pihak lain. Hati Hoegeng baru luluh ketika diberi sebuah mobil bekas jenis Holden Kingswood hasil iuran para kapolda se-Indonesia. Polri pun kemudian membeli rumah dinas Kapolri dan memberikannya pada Hoegeng sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Ketika Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004, hilang pula sosok yang menjadi figur polisi teladan itu.

Kini, figur polisi jujur seperti Hoegeng sangat dibutuhkan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap Polri, sosok bersih dan teladan begitu dirindukan. Betapa sulitnya saat ini menemukan polisi yang bersahaja, jujur, dan sederhana. Sehari-hari kita lebih banyak melihat polisi yang mengedepankan arogansi, menjungkirbalikkan hukum, dan tak tahan akan godaan materi.

Polri yang mengaku sebagai pelayan dan pelindung masyarakat kini jatuh pamor sebagai pelayan dan pelindung bagi mereka yang berani membayar. Tanpa malu, Polri menafikan akal sehat dan tatanan hukum yang ada hanya untuk melindungi seorang pengusaha yang terbukti telah berbohong dan berencana menjatuhkan lembaga antikorupsi.

Sangat disesalkan, satu dasawarsa setelah Orde Baru tumbang, reformasi ternyata tak menyentuh aparat berbaju cokelat. Gembar-gembor perubahan di awal reformasi ternyata hanya sebatas kulit, tanpa menyentuh substansi. “Kini, kami memberi nilai tinggi kepada polisi yang bisa menembak tepat di kaki daripada kepala,” ujar seorang instruktur saat saya mengikuti pelatihan singkat di Pusat Pendidikan Reserse dan Intelijen Polri di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, beberapa tahun silam.

Padahal, urusan reformasi tidak sesederhana perubahan kurikulum soal tatacara menembak seorang tersangka pencuri, tapi lebih kepada perubahan sikap dan mental. Tak sulit untuk menakarnya karena sikap dan mental anggota Polri itu sudah digariskan dalam Tribrata. Jika nilai-nilai dalam Tribrata tak lagi menjadi landasan sikap dan mental, berarti anggota Polri telah kehilangan pedoman hidupnya.

Lebih gampangnya, sudahkah polisi menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum? Sudahkah polisi mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan? Dan, sudahkah polisi menjalankan tugasnya dengan penuh ketaqwaan? Melihat cara polisi menangani kasus sangkaan terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, saya meragukannya.

Saya tidak yakin polisi sudah bertindak adil dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dengan membiarkan Anggodo Widjojo berkeliling stasiun televisi, sementara hak bicara Bibit dan Samad dibungkam. Saya juga tidak yakin polisi punya tekad kuat melindungi dan mengayomi masyarakat. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan warga biasa seperti saya, jika seorang pejabat setingkat pimpinan KPK bisa ditahan dengan bukti yang lemah dan alasan yang absurd.

Ternyata benar, hanya ada tiga polisi di Indonesia yang tak bisa disuap, yaitu patung polisi, polisi tidur dan polisi Hoegeng. Hingga kini, anekdot itu tetap abadi karena belum ada lagi sosok polisi seperti Hoegeng. Polri layak berduka, dengan usia lebih dari setengah abad, baru seorang polisi yang layak dicatat dengan tinta emas karena kejujuran, ketegasan dan kebersahajaannya.

SUMBER : LIPUTAN 6

November - 11 – 2009

MENANTI RELEVAN APEC

Selasa sore, suasana APEC Media Centre yang adem tiba-tiba berubah gaduh. Rombongan lelaki dan perempuan berpenampilan necis masuk terburu-buru. Seorang pria berambut perak tampak naik ke panggung tempat kamera sudah disiapkan. Lampu menyala, dan ia pun mulai berbicara. Hanya sekitar 5 menit kemudian, si pria itu lalu kembali terburu-buru meninggalkan lokasi. Kami, para kuli berita, pun terburu-buru mengerumuni. Sekian pertanyaan dilontarkan, tapi tak ada yang dijawab, ia hanya bergerak maju. Pintu lift terbuka, rombongan pun menghilang. Itulah penampilan sesaat Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith di ajang APEC Singapura.

Stephen Smith boleh tak bicara pada media, tapi ia dipastikan mengadakan pembicaraan bilateral dengan koleganya, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa. Pertemuan antarnegara memang lazim dilakukan di sela-sela acara multilateral. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Kamis nanti. Tinggal agendanya, yang jadi spekulasi media. Dalam pertemuan menlu Indonesia-Australia misalnya, beredar kabar isu pengungsi Sri Lanka akan dibahas.

Di berbagai sudut Suntec Convention Centre, terlihat delegasi dari berbagai negara berkumpul, banyak yang bergerombol dalam rombongan, tapi tak sedikit pula yang mendekati satu sama lain. Ajang ini juga jadi kesempatan wartawan untuk bercengkerama. Di ruang yang begitu dingin, kehangatan teh atau kopi tak selalu mempan, jika dibandingkan dengan obrolan hangat.

Dan tampaknya obrolan demi obrolan, itulah yang mengisi agenda forum APEC, mulai dari tingkat informal sampai formal. Mereka yang bersikap kritis menuduh forum ini tak bergigi, hanya ajang perkumpulan biasa tanpa menghasilkan kesepakatan yang mengikat. Namun mereka yang mendukung keberadaan APEC percaya, yang dihasilkan APEC bukan sekadar persetujuan biasa, melainkan komitmen politik.

Menganggap sepi mereka yang mempertanyakan keberadaan organisasi ini, tuan rumah forum kali ini, Perdana Menteri Singapura Lee Hsian Loong menegaskan, justru ulang tahun ke-20 ini saat yang tepat untuk kembali membuktikan relevansi APEC. “Setengah dari total volume perdagangan dunia dan Produk Domestik Bruto ada di kawasan Asia Pasifik. Kita sedang membentuk Masyarakat TransPasifik. Ini agenda panjang dan bertahap untuk bangkit dari krisis,” katanya saat menyambut para menteri peserta APEC Ministerial Meeting.

Tapi bukan hanya untuk bangkit dari krisis kali ini para pemimpin Asia Pasifik berkumpul. Jika beberapa tahun lalu Amerika Serikat mendorong isu terorisme, tahun ini, agenda forum mengikutsertakan perubahan iklim dan kesiapan menanggulangi keadaan darurat. Namun tentunya isu kebijakan ekonomi tetap jadi prioritas, mulai dari stimulus fiskal sampai perjanjian perdagangan bebas.

Mengingat banyaknya isu untuk dibahas, tampaknya para peserta forum ini memang harus banyak melakukan pertemuan dan pembicaraan, setidaknya sampai akhir pekan nanti. Kami para wartawan pun yakin tak akan habis bahan obrolan atau liputan.

SUMBER : WWW.LIPUTAN6.COM

Selasa, 22 Desember 2009

Jalan Kelapa Dua Cimanggis
Depok

16 October 2009
The Personnal Manajer
Plaza Indonesia, 2nd Floor, Unit 87, Jakarta

Dear sir,
Job Application
I have read your advertisement in " Media Indonesia " of Friday, 16 October. I would like to apply for the posistion of Sales Cum Marketing Assistents.

I am 30 years of age, female and have just graduated from the Economy Faculty of University of Gunadarma. With a very satisfactory grade average. I have the ability in fluent in oral & written English and in operating MS Office and Internet. I have my 2 years working in the company.

Enclosed you will find my photographs and curriculum vitae. Thank you for your attention, and your fully consideration of my application would be greatly appreciated.


Yours Faithfully


Reska Anggi P

The Ajak Electrical Ltd

Foenhall drive readbriige essay 164 SBN

Desember, 1st 2005

Your reff :

Our reff : Order. No 4599

Miss farez

Jalan Mangunsarkoro 139 Sindang Laut

Cirebon

Dear sir,

Complaint For Order No 4599

We received today the electic light fittings we ordered from you off 25 may (order No 4599)

Three of the crates reached us in perfeat condition, but on unpacking the fourt we found a large number of breakage. As the fittings apprear to have been arefully packed, would seem that the breakage have been coosed buy rough handling in transit.

We enclose a list of the damagred fittings and shal be glad if you will take the matter up with feilway authorities, replacements will of course be needed and we hope you can arrage for these to be sent with him the next fiew days.

The dean of cultural sciences faculty university of uclayana has kindly a gread to send information a bout me if you require.

Yours faithfully

Miss Reska Anggi P

Senin, 14 Desember 2009

hfkjhfkaufiouwefkn,janskjflkdslkfjdlksjflksajflkdsajflasjldjflasjfleurfouewopfja.ksdjf.kdsnv.,bndsbnlasm/ldj/lasn,d/fnav,dnsv,masnv,mansd,vmn,masjesjfsdnf.,sda.fm
XYZ Company

MEMO

To : Personal Manager
From : Reska Anggi Pratiwi
Subject : Arrange Interview


I you to arrange for 10 applicants who have applied for the position of interval auditor staff.

The company will recruit 2 applicants wich have high capabilities for the position.The interview will be held on Monday 12 october 2009, start form 10.00am at conference room 2 floor of the company building.

Yours sincerely



Reska Anggi Pratiwi